'Ada hal dimana kamu benar-benar harus bisa merelakan.
Ada hal dimana kamu benar-benar harus bisa mengikhlaskan.
Pergilah sejauh apapun kau hendak melangkahkan kakimu. Takkan lagi ada yang mencegatmu. Toh jika Allah berbaik hati, dia akan memulangkanmu dengan cara baik padaku.
Benar, sore itu indah sekali. Warnanya merah saga. Sore yang indah bagimu tapi tidak bagiku.'
Sore itu adalah sore dimana kamu betul-betul meninggalkanku. Entah apa yang menjadi alasan utamamu untuk pergi, aku tak tahu. Sore itu, aku melihat pohon yang padanya ada ranting-ranting mati, disitu adalah tempat bertemunya dua ekor burung untuk hinggap. Tak banyak yang mengetahui, disuatu sudut kecil. Ada lubang yang padanya terdapat seekor semut hitam. Dia linglung, tertinggal oleh kawanannya. Jikapun pada sore itu aku bisa berbicara padanya, maka aku akan mengatakan; Kau sama sepertiku!.
Sudahlah, tak ada gunanya lagi aku berlamat-lamat mengenangmu. Menjadi orang yang terlupakan adalah hal yang tak diingini.
Pergilah selagi niatmu bulat. Aku takkan berulang-ulang mencegatmu untuk tetap bisa setia bersamaku dalam rangkul angin. Disini.
Silahkan pergi. Raih senangmu, rangkul bahagiamu. Aku lebih suka bersama semut disini. Bukan gila, tapi aku suka tertawa bersamanya.
'Disuatu sore. Kala itu senja saga ibarat surga bagi sepasang burung. Tapi tidak bagiku, dan bagi semut kecil.'
Kamis, 18 Agustus 2016
Sore
Rabu, 10 Agustus 2016
Untuk Sahabat
'Aku merasakan hal itu benar-benar hilang.
Aku merasakan hal itu takkan pernah terulang kembali.
Inilah sebuah pertemuan yang amat aku sesali.'
Awal bertemu dahulu, aku tak ingin menggubris siapa dirimu. Sejahat apapun atau sebaik apapun kau tetap orang asing bagiku.
Suatu hari, sapaan itu pecah dikala aku menatapmu dengan penuh keanehan. Kau menyapa seraya mendekat dan mencoba menghangatkan suasana.
Hari-hari terasa jelas kita lewati dulu, tapi waktu itu aku hanya menganggapmu teman, tidak lebih apalagi sebagai seorang sahabat. Entahlah, tanpa komando canda dan tawa mengalir seperti air diantara kita. Tanpa henti. Apapun suasananya, aku benar-benar nyaman disisimu sebagai dua sejoli pengembara.
Tak jarang, masalah datang silih berganti, tapi tetap dalam sekejap semuanya hilang. Kita kembali dalam dunia tawa yang kita punya.
Hanya sebentar waktu itu terjadi. Entah sebuah hukum alam, kehendak semesta atau yang lainnya. Dengan hari yang datang silih berganti, tanpa ada kompromi sedikitpun. Inilah sebuah pertemuan yang aku sesali.
Ketika aku mengenal arti sahabat, seketika itu Tuhan menyuruh kita berpisah untuk berjalan pada jalan kita sendiri.
'Kini, betul aku katakan aku rindu celaan kalian.
Aku rindu kala tawa kita benar-benar pecah.
Aku rindu kala masalah hanya nama diantara kita.'
Sekarang hanya jarak yang ada dalam sebuah tawa. Terkadang ingin sekali rasanya hati ini menyapamu dari kejauhan, meski hanya sekedar bertanya kabar. Tapi, rasa segan lebih besar saat itu. Rasa segan mengganggu aktifitasmu, sahabat. Bagiku sekarang, mendengar kabarmu saja sudah cukuplah bagiku. Selagi kau sehat disana dan lancar menjalani aktifitasmu aku turut senang disini.
Berkumpul bersama dengan kalian? Aku pikir hanya sebuah ekspektasi belaka.
Dari dasar kesunyian saat ini. Do'aku tetap terpancar rapi untukmu. Semoga salamku sampai padamu. Semoga kau tak melupakan kisah yang kita lalui bersama dulu.
Bagaimana kabarmu disana sahabatku? Semoga kau tak melupakan aku disini. Banyak cerita yang ingin aku sampaikan padamu, tapi tunggulah. Jalani saja kehidupan kita masing-masing disini.
Sejauh apapun kau melangkah sahabatku, pulanglah sesekali. Bawakan aku oleh-oleh hasil keringatmu sendiri.
Aku bangga menjadi sahabatmu!.
Senin, 08 Agustus 2016
Tentang Dirimu
Aku ingin lamat-lamat bercumbu dengan kesendirian.
Aku merasakan diriku betul-betul sepenuhnya ada disana.
Entahlah, sejak kehilanganmu aku merasakan gula itu sangat pahit.
Inilah aku, terus tenggelam dalam sakit. Sakit dalam mengenangmu. Mengenang kisah yang telah kita ukir dengan tinta yang takkan pernah bisa terhapus.
Banyak tanya yang terus menggeluti pikiranku, seolah mereka meminta keadilan pada tuannya. Mereka terus saja meronta membuat sakit hati ini. Mengulang-ulang pertanyaan; Mengapa kau pergi? Mengapa kau memilih meninggalkanku? Apakah aku jahat? Apakah aku tidak pernah jujur padamu? Atau apakah ada serigala datang yang berharap daging segar padamu?. Aku tak tahu mengapa kau pergi, hanya itu alasanku untuk menjawab pertanyaan mereka.
Tidak, aku tak punya alasan menyalahkanmu. Aku tak punya alasan menyalahkan perjumpaan, waktu, jarak apalagi keadaan. Aku hanya menjatuhi kesalahan pada diriku sendiri yang tak lagi mampu menahanmu untuk tetap berpeluk denganku.
Tak lagi ada yang bisa aku lakukan. Aku hanya mengharap sisa-sisa bayang agar bisa membentuk dirimu secara utuh lagi. Sama seperi diri yang aku jumpai tepat pertama kali dulu. Tapi aku tahu, itu hal yang tak mungkin terjadi.
Sudahlah, tak mengapa, pergilah bersama keyakinan yang kau punya dan carilah kebahagiaan barumu disana. Sesekali jika kau ada waktu jenguklah orang hina yang mengharap dirimu kembali, lihatlah dia pada peraduan sunyinya. Tak lagi ada sesosok manusia yang mampu membuatnya tersenyum kecuali kepulangan dirimu. Cukup hadiahi dia senyum tulus saja, dia akan merasa bahwa dia adalah manusia yang paling beruntung di wajah tanah.
Karena senyummu ibarat kesejukan, mendamaikan jiwa dalam suasana apapun yang aku rasa.